Dalam bahasa
Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. Itu mungkin ada
hubungannya dengan masa lalu ketika Keraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro
akan dipenuhi dengan bunga. Kata Malioboro juga berasal dari nama seorang
kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal disana pada
tahun 1811-1816 M. pendirian Jalan Malioboro bertepatan dengan pendirian Keraton
Yogyakarta (Kediaman Sultan).
Perkembangan
pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk
meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan stasiun
utama (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan
menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan penting di
era kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang untuk
membela kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi Utara-Selatan
sepanjang jalan.
Malioboro
juga menjadi sejarah perkembangan seni sastra Indonesia. Dalam Antologi Puisi
Indonesia di Yogyakarta 1945-2000 memberi judul “MALIOBORO” untuk buku
tersebut, buku yang berisi 110 penyair yang pernah tinggal di yogyakarta selama
kurun waktu lebih dari setengah abad. Pada tahun 1970-an, Malioboro tumbuh
menjadi pusat dinamika seni budaya Jogjakarta. Jalan Malioboro menjadi
‘panggung’ bagi para “seniman jalanan” dengan pusatnya gedung Senisono. Namun
daya hidup seni jalanan ini akhirnya terhenti pada 1990-an setelah gedung
Senisono ditutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar